Selasa, 12 April 2022 akan menjadi hari yang tercatat dalam sejarah bangsa Indonesia, dimana saat Ketua DPR RI Puan Maharani, mengetukkan palunya dalam Sidang Paripurna DPR RI saat mengesahkan Rancangan Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS menjadi sebuah UU yang akan memberikan perlindungan terhadap kaum perempuan dan anak dari tindak kekerasan seksual.
Kehadiran UU TPKS ini tidak lepas dari perjalanan panjang upaya memberikan perlindungan terhadap kaum perempuan dan anak seiring dengan meningkatnya fenomena kekerasan terhadap kaum perempuan dan anak, seperti yang tercatat oleh Komnas Perempuan, ada 2.363 kasus kekerasan seksual, dimana 25 persen adalah tindak pemerkosaan terhadap kaum perempuan dan anak pada 2021, dan mirisnya dari hasil kajian yang dilakukan oleh Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC KJHAM) hanya sekitar 10 persen dari angka kasus kekerasan terhadap kaum perempuan dan anak tersebut yang berlanjut ke proses persidangan dengan menggunakan KUHP serta UU PKDRT, untuk itu diperlukan kehadiran UU khusus yang mengatur tentang TPKS seiring dengan meningkatnya tindak kekerasan seksual tersebut.
Jalan berliku untuk menghadirkan payung hukum yang bisa memberikan perlindungan terhadap kaum perempuan dan anak ini, bisa terlaksana usai Panja DPR RI bersama Pemerintah membahas RUU TPKS secara maraton sejak 28 Maret 2022 hingga 7 April 2022, setelah sebelumnya melalui berbagai tahapan serta dinamika politik yang berkembang di DPR RI.
Yang lebih menjadi esensi dari kehadiran UU TPKS ini adalah, hadirnya hukum pidana khusus yang memiliki setidaknya enam kekuatan hukum yang progresif, diantaranya adalah pemidanaan, pencegahan, pemulihan, tindak pidana, pemantauan dan restitusi terhadap korban tindak kekerasan seksual, yang didalamnya mengatur sembilan bentuk kekerasan seksual terhadap kaum perempuan dan anak, diantaranya adalah pelecehan seksual fisik, pelecehan seksual non fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, penyiksaan seksual, pemaksaan perkawinan, perbudakan seksual, kekerasan seksual dengan sarana elektronik dan eksploitasi seksual.
Selain itu, dalam UU TPKS ini juga diatur tentang pelayanan terpadu untuk penanganan dan pemulihan korban tindak kekerasan seksual, termasuk didalamnya terdapat pemberatan hukuman bagi pelaku tindak kekerasan seksual yang berasal dari kalangan pejabat negara, tenaga medis, tenaga pendidik, pemula agama, dan keluarga dengan memperberat hukuman pidana sebesar 1/3 hukuman sedangkan bagi pelaku tindak kekerasan seksual dari kalangan korporasi akan ditambahkan ancaman pencabutan izin usaha dan pembekuan seluruh/sebagian kegiatan korporasi yang bersangkutan.
Untuk dapat memastikan bahwa UU TPKS ini diimplementasikan, perlu diatur mekanisme pemantau eksternal yang bisa dilakukan oleh Komnas Perempuan, Komnas HAM, KPAI maupun Komnas Disabilitas, agar UU TPKS ini bisa menjadi obor bagi para korban tindak kekerasan seksual, yang selama ini selalu dibuat tidak bisa bersuara dalam ruang yang senyap.
Klaten, 15 April 2022.